Mengurai Ketimpangan Ekonomi di Kabupaten Purwakarta, Tantangan bagi Pj Bupati?
Purwasuka – Belakangan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purwakarta resmi ditangani Pejabat (PJ) pasca Bupati & Wakil Bupati Purwakarta definitif tuntas masa jabatannya. Pada masa ‘transisi’ kewenangan yang terbilang singkat, bagaimanapun ada tanggung-jawab yang mesti diemban PJ Bupati Purwakarta. Tanpa kecuali, ihwal kesejahteraan rakyat Purwakarta yang ada dalam jangkauan amanahnya selama setahun kedepan.
Pada konteks itu, ada tanda-tanda penting yang tampaknya perlu menjadi perhatian PJ Bupati Purwakarta. Pertama, lambannya laju penurunan kemiskinan di Kabupaten Purwakarta. Per tahun 2016, persentase kemiskinan di Kabupaten Purwakarta berada di 8,98% (BPS, 2018). Sebagai catatan, tahun 2016 dijadikan base line karena di tahun 2015 mulai dikucurkan Dana Desa (DD), sehingga implikasinya bisa diperiksa di tahun 2016. Seterusnya, di tahun 2022, persentase kemiskinan turun menjadi 8,70% (BPS, 2022). Artinya, pada kurun waktu 6 tahun (berikut kucuran Dana Desa yang digulirkan selama tempo waktu tersebut : Pen), penurunan persentase kemiskinan menyentuh 0,28% saja.
Kedua, fenomena tersebut terjadi dalam arena (field) sosio-ekonomi lokal yang memuat kontradiksi. Disatu sisi, Kabupaten Purwakarta mengalami kemajuan (progress) yang signifikan dari sisi capaian fisik pembangunan. Proxy yang dapat digunakan dalam hal ini adalah Indeks Desa Membangun (IDM). Di tahun 2016, setahun setelah Dana Desa awal bergulir, IDM rata-rata Kabupaten Purwakarta adalah 0,6281 (status : berkembang). Seterusnya, di tahun 2022, IDM rata-rata Kabupaten Purwakarta meningkat signifikan menjadi 0,7420 (status : maju). Pada situasi demikian, aspek pembangunan fisik di Kabupaten Purwakarta semakin konvergen (merata), lebih khusus soal pelayanan dasar berkat ‘infus’ Dana Desa (DD). Dengan kata lain, pra-syarat infra-struktur yang mendukung kesejahteraan rakyat sudah bukan lagi persoalan besar. Sekurang-kurangnya, tidak sebesar dan serumit masa-masa sebelumnya yang minus dukungan fiskal melalui skema Dana Desa.
Tetapi, pada kondisi yang semakin maju tersebut, perlu juga dicatat bahwa tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat Purwakarta justru meningkat. Di tahun 2016, tingkat ketimpangan pendapatan yang dinyatakan melalui proxy rasio gini berada di poin 0,36. Seterusnya, seiring dengan perubahan menjadi Kabupaten berstatus “maju”, angka rasio gini justru semakin meningkat menjadi 0,38. Kenaikan ketimpangan pendapatan adalah indikator sensitif yang perlu mendapatkan perhatian serius (Sjaf, 2021). Tinggi dan rendahnya ketimpangan pendapatan menandai rentang kebermanfaatan aksi pembangunan. Ketimpangan tinggi membuktikan bahwa aksi pembangunan hanya menguntungkan segelintir karena terjadi surplus dan bahkan konsentrasi pendapatan pada satu kelompok atau kelas tertentu saja. Sebaliknya, ketimpangan rendah yang mengarah pada pemerataan mengindikasikan aksi pembangunan berimplikasi kepada masyarakat luas (World Bank, 2015). Lalu, ketimpangan pendapatan pun memicu beragam persoalan sosial yang kompleks, mulai dari ketegangan sosial, meningkatnya kriminalitas, hingga ancaman disintegrasi (Rustiadi, 2020).
Dari lingkup problematika tersebut, pertanyaan mendasar yang kemudian perlu dimajukan adalah bagaimana sikap Pemkab Purwakarta selaku pelaksana mandat kebijakan dalam merespon hal tersebut?
Langkah Solutif-Fundamenal : Mempresisikan Data