Teks Khutbah Jumat: Etika Menyampaikan Pendapat dan Debat

Ilustrasi Khutbah Jumat
Sumber :
  • info.metrokota.go.id

Purwasuka – Teks khutbah jumat kali ini akan bahas soal etika menyampaikan pendapat dan berdebat menurut islam.

Sebagaimana diketahui, Islam dikenal sebagai agama yang mengatur seluruh sendi kehidupan umatnya, termasuk mengenai akhlak atau etika selaku ketentuan yang berkaitan dengan budi pekerti. 

Lebih spesifik lagi, pada kesempatan kali ini akan mengulas etika berpendapat dan berdebat sekaligus. Hal ini mengingat keduanya masih saling bertalian satu sama lain. 

Khutbah Jumat: Etika Menyampaikan Pendapat dan Debat

Hadirin jamaah shalat Jumat hafidzakumullah, Islam mempunyai tiga aspek utama yang patut diperhatikan oleh para pemeluknya. Tiga aspek tersebut adalah iman, islam, dan ihsan. 

Dalam kesempatan yang lain, ketiganya disebut dengan akidah, fikih, dan akhlak/tasawuf. Ketiga aspek ini harus dikerjakan secara bersamaan dalam satu tarikan nafas seorang Muslim.

Misalnya saat shalat, pada saat itu seorang Muslim harus beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Ini yang disebut dengan akidah. Kemudian juga harus mengindahkan berbagai ketentuan keabsahan shalat, ini yang disebut dengan fikih. 

Serta harus mengenakan pakaian yang sopan, ini yang disebut dengan akhlak. Artinya, ketiga-tiganya mempunyai porsinya masing-masing dan level yang sederajat. 

Dengan kata lain, Islam tidak hanya berbicara tentang aturan normatif saja. Islam juga menyoroti soal adab dan etika, baik dengan Sang Pencipta maupun dengan sesama makhluk. Islam tidak menginginkan umatnya hanya fokus pada aturan normatif, sehingga bisa lupa dalam merajut hubungan yang baik dengan berbagai pihak. 

Hadirin jamaah shalat Jumat hafidzakumullah, Islam cukup serius dalam mengatur budi pekerti pemeluknya. Bahkan budi pekerti yang disorot Islam mencakup berbagai lini, misalnya antara anak dengan orang tua, kecil dengan dewasa, murid dengan guru, kemudian dengan tetangga, tamu, dan orang lain dalam beragam interaksi lainnya.

Selain itu, ketentuan ini dicontohkan oleh para penyebar agama Islam, sehingga umat semakin percaya terhadap kebenaran ajaran agamanya. Para tokoh agama telah memberikan tauladan agar umat dapat mengetahui secara langsung cara menerapkannya. Hal ini senada dengan perkataan imam al-Ghazali di dalam kitabnya, Bidayatul Hidayah:

Artinya: “Sikap perbuatan lebih fasih dibandingkan sikap perkataan” 

Fasih di sini mempunyai makna bagus dan mudah dicerna. Maksudnya adalah, prilaku merupakan cara yang lebih jitu untuk menyampaikan dakwah dibandingkan orasi lisan. Maka para ulama hendak memberikan contoh adab dalam Islam secara praktis dibandingkan terlalu banyak berbicara secara teori dan aturannya. 

Hadirin jamaah shalat Jumat hafidzakumullah, Meskipun Islam telah membahas sederet ketentuan masalah adab, namun Islam mengakui terhadap keberagaman umatnya. Pengakuan tersebut sebagaimana dipertegas dalam Surat Hud ayat 118:

Artinya: “Dan seandainya Tuhanmu menghendaki tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berbeda-beda.” 

Fakruddin al-Razi dalam Mafatihul Ghaib menafsirkan bahwa berbeda-beda pada ayat tersebut mencakup banyak hal, seperti agama, suku, warna kulit, bahasa, dan prilaku. Prilaku di sini dapat berupa perbuatan maupun perkataan atau pendapat. 

Maka wajar kiranya bila seringkali kita menemukan perbedaan pandangan di sekitar kita, baik di keluarga, teman, kolega, bahkan di media sosial. Itu semua merupakan keniscayaan yang mesti disikapi dengan bijak. 

Sunnatullah ini memang tidak bisa dihindari oleh siapa pun, sehingga tidak perlu lagi merasa paling benar di tengah-tengah perbedaan pendapat yang ada. Oleh karenanya, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana cara menyampaikan sebuah pandangan yang berbeda dengan orang lain. Pada tahap inilah Islam memainkan perannya. 

Seperti tutur kata yang baik, diksi yang sopan, intonasi yang lembut, serta gestur tubuhnya. Semua ini merupakan cara yang diajarkan Islam dalam menyampaikan pendapat. Selain itu, Islam juga memperhatikan posisi dan status subyeknya sebagaimana disebutkan sebelumnya, serta kondisi yang sedang terjadi. 

Hal ini demi menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapi agar antara hulu dan hilirnya berirama dengan tepat. Begitu juga efek dari perbedaan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang justru dapat menciderai stabilitas sosial. 

Hadirin jamaah shalat Jumat hafidzakumullah, Dengan demikian, meskipun seandainya terjadi perbedaan pandangan yang cukup sengit, yang disebut dengan debat, baik formal maupun informal, maka adab dan tata krama seperti yang telah disebutkan akan tetap terjaga dan harus dikedepankan. Terlebih bila melihat ayat pada Surat al-Nahl: 125 yang berbunyi:

Artinya: “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik, serta debatilah mereka dengan perdebatan yang lebih baik (dari mereka).” 

Pada dasarnya, ayat ini membahas mengenai ajakan Nabi terhadap orang-orang musyrik agar mau mengikuti agama Ibrahim, yang sama-sama mengajarkan keesaan Allah swt. Namun ketika ajakan itu dibantah dan didebat, maka Nabi disuruh untuk merespon debat tersebut dengan cara yang lebih elegan, baik tutur katanya maupun argumentasinya. 

Maka dari itu, bila ayat ini digiring pada persoalan berdebat dengan orang lain, meskipun bukan mengenai masalah akidah, namun berdebatnya tetap harus dilakukan dengan cara-cara yang islami, yang bertumpu pada bahasa yang sopan, gestur tubuh yang beradab, dan argumentasi yang kuat. 

Debat semacam ini akan melahirkan iklim positif bagi dunia keilmuan dan sosial. Begitu juga sebaliknya, bila perdebatan yang terjadi malah saling ngotot dan ngeyel, dalam istilah kita disebut dengan debat-kusir, maka seyogyanya harus dihindari. Sebab Nabi Muhammad pernah bersabda dalam riwayat Tirmidzi:

Artinya: “Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga.” 

Kata mira’ dalam hadits tersebut bermakna berdebat dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan dan hanya untuk menang sendiri agar terlihat keren dan hebat, sehingga seringkali debat semacam ini tidak didasari pada argumentasi yang jelas dan logis.  

Oleh karenanya, Hadits ini merupakan peringatan bagi kita semua yang mungkin selama ini pernah atau bahkan terbiasa melakukan debat. Kita mending berpindah tempat atau mengalihkan topik sehingga perdebatan seperti itu tidak berlanjut. 

Sebab biasanya perdebatan jenis itu sangat berpotensi meretakkan hubungan antar sesama. Semoga kita dijauhkan dari perbedaan pandangan dan debat kusir semacam itu

Purwasuka – Teks khutbah jumat kali ini akan bahas soal etika menyampaikan pendapat dan berdebat menurut islam.

Sebagaimana diketahui, Islam dikenal sebagai agama yang mengatur seluruh sendi kehidupan umatnya, termasuk mengenai akhlak atau etika selaku ketentuan yang berkaitan dengan budi pekerti. 

Lebih spesifik lagi, pada kesempatan kali ini akan mengulas etika berpendapat dan berdebat sekaligus. Hal ini mengingat keduanya masih saling bertalian satu sama lain. 

Khutbah Jumat: Etika Menyampaikan Pendapat dan Debat

Hadirin jamaah shalat Jumat hafidzakumullah, Islam mempunyai tiga aspek utama yang patut diperhatikan oleh para pemeluknya. Tiga aspek tersebut adalah iman, islam, dan ihsan. 

Dalam kesempatan yang lain, ketiganya disebut dengan akidah, fikih, dan akhlak/tasawuf. Ketiga aspek ini harus dikerjakan secara bersamaan dalam satu tarikan nafas seorang Muslim.

Misalnya saat shalat, pada saat itu seorang Muslim harus beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Ini yang disebut dengan akidah. Kemudian juga harus mengindahkan berbagai ketentuan keabsahan shalat, ini yang disebut dengan fikih. 

Serta harus mengenakan pakaian yang sopan, ini yang disebut dengan akhlak. Artinya, ketiga-tiganya mempunyai porsinya masing-masing dan level yang sederajat. 

Dengan kata lain, Islam tidak hanya berbicara tentang aturan normatif saja. Islam juga menyoroti soal adab dan etika, baik dengan Sang Pencipta maupun dengan sesama makhluk. Islam tidak menginginkan umatnya hanya fokus pada aturan normatif, sehingga bisa lupa dalam merajut hubungan yang baik dengan berbagai pihak. 

Hadirin jamaah shalat Jumat hafidzakumullah, Islam cukup serius dalam mengatur budi pekerti pemeluknya. Bahkan budi pekerti yang disorot Islam mencakup berbagai lini, misalnya antara anak dengan orang tua, kecil dengan dewasa, murid dengan guru, kemudian dengan tetangga, tamu, dan orang lain dalam beragam interaksi lainnya.

Selain itu, ketentuan ini dicontohkan oleh para penyebar agama Islam, sehingga umat semakin percaya terhadap kebenaran ajaran agamanya. Para tokoh agama telah memberikan tauladan agar umat dapat mengetahui secara langsung cara menerapkannya. Hal ini senada dengan perkataan imam al-Ghazali di dalam kitabnya, Bidayatul Hidayah:

Artinya: “Sikap perbuatan lebih fasih dibandingkan sikap perkataan” 

Fasih di sini mempunyai makna bagus dan mudah dicerna. Maksudnya adalah, prilaku merupakan cara yang lebih jitu untuk menyampaikan dakwah dibandingkan orasi lisan. Maka para ulama hendak memberikan contoh adab dalam Islam secara praktis dibandingkan terlalu banyak berbicara secara teori dan aturannya. 

Hadirin jamaah shalat Jumat hafidzakumullah, Meskipun Islam telah membahas sederet ketentuan masalah adab, namun Islam mengakui terhadap keberagaman umatnya. Pengakuan tersebut sebagaimana dipertegas dalam Surat Hud ayat 118:

Artinya: “Dan seandainya Tuhanmu menghendaki tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berbeda-beda.” 

Fakruddin al-Razi dalam Mafatihul Ghaib menafsirkan bahwa berbeda-beda pada ayat tersebut mencakup banyak hal, seperti agama, suku, warna kulit, bahasa, dan prilaku. Prilaku di sini dapat berupa perbuatan maupun perkataan atau pendapat. 

Maka wajar kiranya bila seringkali kita menemukan perbedaan pandangan di sekitar kita, baik di keluarga, teman, kolega, bahkan di media sosial. Itu semua merupakan keniscayaan yang mesti disikapi dengan bijak. 

Sunnatullah ini memang tidak bisa dihindari oleh siapa pun, sehingga tidak perlu lagi merasa paling benar di tengah-tengah perbedaan pendapat yang ada. Oleh karenanya, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana cara menyampaikan sebuah pandangan yang berbeda dengan orang lain. Pada tahap inilah Islam memainkan perannya. 

Seperti tutur kata yang baik, diksi yang sopan, intonasi yang lembut, serta gestur tubuhnya. Semua ini merupakan cara yang diajarkan Islam dalam menyampaikan pendapat. Selain itu, Islam juga memperhatikan posisi dan status subyeknya sebagaimana disebutkan sebelumnya, serta kondisi yang sedang terjadi. 

Hal ini demi menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapi agar antara hulu dan hilirnya berirama dengan tepat. Begitu juga efek dari perbedaan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang justru dapat menciderai stabilitas sosial. 

Hadirin jamaah shalat Jumat hafidzakumullah, Dengan demikian, meskipun seandainya terjadi perbedaan pandangan yang cukup sengit, yang disebut dengan debat, baik formal maupun informal, maka adab dan tata krama seperti yang telah disebutkan akan tetap terjaga dan harus dikedepankan. Terlebih bila melihat ayat pada Surat al-Nahl: 125 yang berbunyi:

Artinya: “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik, serta debatilah mereka dengan perdebatan yang lebih baik (dari mereka).” 

Pada dasarnya, ayat ini membahas mengenai ajakan Nabi terhadap orang-orang musyrik agar mau mengikuti agama Ibrahim, yang sama-sama mengajarkan keesaan Allah swt. Namun ketika ajakan itu dibantah dan didebat, maka Nabi disuruh untuk merespon debat tersebut dengan cara yang lebih elegan, baik tutur katanya maupun argumentasinya. 

Maka dari itu, bila ayat ini digiring pada persoalan berdebat dengan orang lain, meskipun bukan mengenai masalah akidah, namun berdebatnya tetap harus dilakukan dengan cara-cara yang islami, yang bertumpu pada bahasa yang sopan, gestur tubuh yang beradab, dan argumentasi yang kuat. 

Debat semacam ini akan melahirkan iklim positif bagi dunia keilmuan dan sosial. Begitu juga sebaliknya, bila perdebatan yang terjadi malah saling ngotot dan ngeyel, dalam istilah kita disebut dengan debat-kusir, maka seyogyanya harus dihindari. Sebab Nabi Muhammad pernah bersabda dalam riwayat Tirmidzi:

Artinya: “Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga.” 

Kata mira’ dalam hadits tersebut bermakna berdebat dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan dan hanya untuk menang sendiri agar terlihat keren dan hebat, sehingga seringkali debat semacam ini tidak didasari pada argumentasi yang jelas dan logis.  

Oleh karenanya, Hadits ini merupakan peringatan bagi kita semua yang mungkin selama ini pernah atau bahkan terbiasa melakukan debat. Kita mending berpindah tempat atau mengalihkan topik sehingga perdebatan seperti itu tidak berlanjut. 

Sebab biasanya perdebatan jenis itu sangat berpotensi meretakkan hubungan antar sesama. Semoga kita dijauhkan dari perbedaan pandangan dan debat kusir semacam itu