Mulai Januari 2025, PPN Naik Jadi 12 Persen: Apa Saja yang Terkena Dampaknya?
- Pixabay
Purwasuka – Pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Kebijakan ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus menjaga stabilitas ekonomi di tengah tantangan global.
“Sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN akan naik menjadi 12 persen mulai awal tahun depan,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dikutip dari Viva.co.id.
Kenapa PPN Dinaikkan?
Pemerintah menjelaskan, kenaikan PPN ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan fiskal yang lebih baik, terutama menghadapi gejolak ekonomi dunia.
Selain itu, tambahan pendapatan dari kenaikan PPN akan digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan nasional.
Namun, kenaikan ini dilakukan secara selektif. Pemerintah berusaha menjaga daya beli masyarakat dengan membatasi penerapan tarif baru pada barang dan jasa tertentu, terutama yang tergolong mewah atau premium.
Barang dan Jasa yang Akan Terkena PPN 12 Persen
Tarif PPN 12 persen akan dikenakan pada barang dan jasa dengan kategori mewah, seperti:
- Layanan kesehatan premium, Rumah sakit dengan layanan VIP.
- Pendidikan bertaraf internasional, Institusi pendidikan dengan biaya tinggi.
- Konsumsi listrik besar, Rumah tangga dengan daya listrik 3.600–6.600 VA.
- Makanan dan bahan makanan mewah, Beras premium, buah impor, ikan seperti salmon dan tuna, daging wagyu atau kobe.
- Barang mewah lainnya, Elektronik (TV, kulkas), kendaraan bermotor, pakaian fesyen, hingga tanah dan bangunan.
Produk digital seperti streaming film, aplikasi, dan game online juga akan masuk dalam kategori ini.
Barang dan Jasa yang Bebas PPN
Di sisi lain, kebutuhan pokok masyarakat tetap bebas PPN. Barang dan jasa esensial seperti beras, telur, ikan, susu, serta layanan pendidikan dan kesehatan standar akan tetap dibebaskan dari pajak ini.
Apa Dampaknya bagi Masyarakat?
Kenaikan PPN ini memicu berbagai reaksi di masyarakat, terutama dari kalangan pelaku usaha dan warganet yang khawatir daya beli akan terdampak.
Namun, pemerintah optimis kebijakan ini akan membantu memperkuat perekonomian tanpa membebani masyarakat luas.